Bagaimana Berhadapan dengan Manager yang Kolot dan Kaku?
Jujur saja—banyak orang resign bukan karena beban kerja, tapi karena bos yang ngotot hidup di zaman mesin ketik. Di era kerja hybrid, teknologi AI, dan komunikasi secepat kilat, masih ada saja manajer yang alergi perubahan. Suka ngatur, anti kritik, dan hobi bilang “dulu juga bisa, kenapa sekarang ribet?” Kalau kamu pernah merasa ide bagusmu ditolak hanya karena “belum pernah dilakukan sebelumnya”, kamu tidak sendirian.
Berhadapan dengan manajer seperti ini bisa membuatmu merasa
terjebak. Tapi resign bukan satu-satunya pilihan. Kuncinya bukan melawan, tapi memahami
pola pikir mereka dulu. Banyak manajer kolot tumbuh dalam budaya kerja yang
mengandalkan hierarki dan pengalaman, bukan data dan inovasi. Mereka takut
kehilangan kontrol, bukan karena jahat—tapi karena belum terbiasa memberi
ruang.
Alih-alih memaksakan perubahan secara frontal, coba ajukan
ide dengan pendekatan yang mereka pahami. Misalnya, tunjukkan dampak dari ide
tersebut melalui angka, studi kasus, atau contoh perusahaan yang mereka
hormati. Gunakan bahasa yang “aman” seperti: “Saya paham ini berbeda dari
biasanya, tapi saya riset dulu dan ini hasilnya…”
Lalu, bangun aliansi internal. Temukan rekan kerja yang
berpikiran terbuka dan bisa menjadi pendukung diam-diam. Dalam organisasi yang
kaku, perubahan tidak datang dari satu orang yang berteriak paling keras, tapi
dari suara-suara kecil yang konsisten. Ini adalah permainan psikologi—dan kamu
perlu sabar, tapi strategis.
Ingat: bekerja di bawah manajer kolot bukan akhir dunia, tapi
mungkin jadi awal dari kecerdasan emosional dan negosiasi yang sebenarnya.
Kalau kamu bisa bertahan dan tetap tumbuh di ekosistem seperti itu, kamu sedang
mempersiapkan diri untuk jadi pemimpin yang lebih baik dari mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar